Jihad, sebuah kata yang bermakna dalam. Tergantung bagaimana tiap individu beragama Islam meresapi filosofi di dalamnya.
Tulisan Ahmed Aboulenein tentang kisah pemuda Muslim di Inggris berikut ini mungkin bisa memberi gambaran, bagaimana dunia barat memandang Islam, dan sikap apa yang seharusnya dimiliki para penyeru kalimat tauhid.
Beginilah kehidupan pengungsi Suriah, berbulan-bulan mereka hidup di kamp dan jauh dari kata "kesejahteraan". (REUTERS/Osman Orsal )
Dari sebuah kantor di Birmingham, Waseem Iqbal dan temannya merencanakan perjalanan ke Yordania melakukan jihad. Tidak, mereka bukan bergabung dalam perang, melainkan membawa paket bantuan untuk pengungsi Suriah.
"Bagaimana Anda menyelamatkan warga tak bersalah di Suriah? Dengan pergi ke medan perang lalu mati terbunuh? Atau... mengirim pompa air untuk masyarakat, membantu sekolah, dan membawa paket makanan? Inilah yang (sesungguhnya) menyelamatkan mereka," ujar Iqbal.
Pemuda 27 tahun itu tahu, ada Muslim Inggris yang mengambil jalan berbeda. Dua temannya ditangkap beberapa waktu lalu dan dijerat hukum terorisme Inggris. Bagi Iqbal, itu adalah pilihan hidup yang berbeda. Meski diakuinya, semua pilihan itu memiliki satu kesamaan, yakni kemarahan.
Sebagian Muslim Inggris menginterpretasikan kemarahan dengan pergi 'berjihad' ke Suriah atau Irak dan ikut berperang bersama kelompok fundamentalis IS/ISIS. Perdana Menteri David Cameron memperkirakan setidaknya lebih dari 500 warga Muslim Inggris pergi ke Timur Tengah menjadi bagian dari terorisme.
Ya, Iqbal menyadari "kemarahan" itu...
Di kota tempat tinggalnya, sebagai kota kedua terbesar setelah London, kehidupan kaum Muslim tidaklah mudah. Kecurigaan dan sikap rasisme kerap ditunjukkan warga kepada pemeluk Islam.
Abdul Waheed, seorang rekan Iqbal menceritakan kisah muram dalam hidupnya. Saat Waheed berusia 8 tahun, ia menyaksikan dari jendela rumahnya, sang paman dipukuli di jalan depan rumah yang didominasi warga kulit putih -- dan anti Muslim.
Masalah tersebut memaksa Waheed dan pamannya pindah ke Sparkhill, sebuah permukiman kumuh dengan rumah bergaya Victoria dan gang berliku layaknya model perumahan Inggris di cerita "Tom Sawyer".
Waseem Iqbal/Foto: REUTERS/Darren Staples.
Iqbal dan Waheed memiliki beragam cerita serupa tentang rasisme. Mereka pernah dilemparkan berkaleng-kaleng bir di lapangan sepak bola, atau makian-makian bernada rasis oleh banyak anak sebaya di jalanan.
Isolasi komunitas Muslim itu menyebabkan munculnya mentalitas di kalangan pemuda Muslim, bahwa mereka merasa tidak menjadi bagian dari sebuah negeri, Inggris Raya. Dan sebaliknya, mereka semakin merasa menjadi bagian dari bangsa Muslim global. Maka, ketika perang berkecamuk di Timur Tengah, begitulah panggilan 'berjihad' dalam perang menguasai benak mereka.
Kesadaran Iqbal bangkit untuk gerakan kemanusiaan, ketika ia 'terpanggil' untuk itu.
Ia pernah bekerja di sebuah klub malam, juga akrab dengan hingar-bingar pesta, maupun lingkaran narkoba.
Kakak sepupunya meninggal karena over dosis di tahun 2010. Sahabatnya tewas ditikam dalam perkelahian jalanan.
Entah, karena pengalaman tersebut... yang pasti Iqbal berubah total pada suatu malam.
"Saya duduk dan mengisap ganja di flat saya sambil melihat hiruk-pikuk kota di malam hari, dan mulai bertanya pada diri sendiri, apakah batasannya, di (titik) mana semua ini akan berhenti? Saya menghabiskan sepanjang malam menangis dan menyadari.... ada yang hilang dalam diri saya: Islam," kisah Iqbal.
"Saya berjanji pada diri saya untuk menjadi seorang Muslim yang lebih baik, dan berheni dari semua hal (buruk) ini."
Kini, dalam balutan jubah panjang (thawb) serta mukanya tertutup jenggot lebat, Iqbal berada di kantor amal Yayasan Bantuan Kemanusiaan (Human Relief Foundation) selama sebulan.
Iqbal telah menemukan jalan 'jihad'-nya. Sebuah jalan membela Allah SWT yang lebih bercahaya, dan juga indah.
0 Comments
EmoticonEmoticon